24 Juli 2008,
Saya melewati malam dingin di Wonosobo merasa sendirian meski ada mereka rekan-rekan sekerja saya. Rasanya saya ingin menangis karena tidak ada satu orangpun dari mereka yang bisa saya ajak mengobrol dan bercerita...weits, tunggu dulu bukan berarti saya musuhan dengan mereka. No, they are very nice Cuma mungkin masalahnya mereka semua lelaki dan saya rada roaming dengan candaan mereka dan tidak satupun mencoba ngobrol atau bercanda dengan saya mungkin karena sungkan...aduh sedih banget. Sayapun terpaksa bengong-bengong bego ga jelas. This never happened to me before gitu kan...trip panjang terakhir saya dengan rute Solo-Semarang sangat berkesan meski saya sering dibecandain sama mas-mas ituh tapi mereka mau duduk semeja dan mancing buat ngajak ngobrol duluan, hasilnya in the end, saya jadi santai meski mereka jauh lebih senior dari saya. Sekarang, saya sudah coba ngajak ngobrol, becanda tapi mereka teteup aja ngumpul sesama lelaki udah gitu saya paling kecil disini...jadi bingung dan mati gaya abis. Dulu di Medan juga saya bisa ikutan main kartu ampe tengah malam becanda sana-sini....kenapa siy dengan perjalanan saya kali ini?*sigh*
Sampai tadi yah sebelum saya menulis ini, karena saking mati gaya dan gatau harus ngapain *serba salah mode on*, saya jalan ajah gitu keluar dari hotel (di Wonosobo, saya menginap di Hotel Kresna...nice hotel) dan di depan hotel nemuin teman ngobrol yaitu Pak Paijo, seorang penjual rokok pake gerobak. Beliau saya ajakin cerita tentang hidup dia...waah, lumayan efeknya hati terasa lebih ringan dan ga mangkel lagi karena kesepian. Saya mau cerita dikit ya tentang Pak Paijo (46 tahun) punya anak lima dan beberapa cucu. Pak paijo itu gambaran orang yang lugu. Beliau cerita bahwa dirinya seorang yatim piatu sejak kecil lalu tidak pernah mengecap pendidikan apapun dan sampai sekarang masih berjuang bertahan hidup. Namun, yang saya kagum adalah bagaimana cara Pak Paijo menjalani hidup, begitu tidak ngoyo tapi tetap berjuang. Tuhan maha adil ya, ada orang-orang seperti Pak Paijo sebagai pengingat bagi kita untuk selalu bersyukur, wong orang yang hidupnya susah aja tidak lupa bersyukur dan terus berjuang. See, bahkan saya mungkin lebih kenal Pak Paijo daripada ke-enam rekan se-team perjalanan kali ini...ironis!
Overall, empat hari shooting (dari tujuh hari shooting) ini berjalan dengan lancar, Thanks God. Mas Diput as my producer tampak tidak se-stress biasanya...hehe, ikut agak tenang. Mas Donny meski rada diem cukup membuat saya merasa ada teman. Mas Ronny, Mas Ferry as campers sangat helpfull dengan tidak pernah complain even kita sering crewcallpagi bahkan jam empat dini hari juga suka ngasih saran-saran walaupun teteup saya rada roaming gatau gimana harus memulai obrolan. Mas Wim as audio person& Mas Botel as unit juga mau kerja sama bikin tugas saya juga terbantu. Mas Acing dan Mas Mahdi yang nganter kita kemana-mana bahkan mecahin rekor perjalanan mulus ga pernah nanya dan ga pernah nyasar selama empat hari perjalanan. Pak Bondan juga terlihat happy-happy saja meski saya mengerti pasti trip shooting ini sangat melelahkan.
Kota-kota yang kami kunjungi juga merupakan kota-kota kecil di Jawa Tengah yang menyenangkan. Waah, saya senang banget bisa ke Candi Borobudur (lagi) dan ke Dieng menyaksikan sun rise, meski ada tragedi lari pagi Candi Borobudur-Hotel Manohara- Candi Borobudur gara-gara saya lupa bawa materi, hehe, alhasil, jam empat pagi saya harus lari pagi mengambil materi yang tertinggal di hotel. Saya juga berkesempatan ketemu perempuan-perempuan perkasa. Siapa sih perempuan-perempuan perkasa itu? Baca di postingan saya yang lain ya.
Okay...itulah curhat colongan saya kali ini. Tapi rasa kesel dan bete saya paling lama bertahan 2 jam malam ini saja karena I do love this kind of trip, enrich me much, makes me learn a lot about life, understanding others, and teamworkJ
Cheer up,
25 Juli 2008
Selamat Pagi!
Masih dari Wonosobo. Pagi ini saya awali dengan menyenangkan karena bisa tidur dengan cukup dan masih ada spare waktu untuk breakfast dengan tidak tergesa-gesa. Selain itu karena mas-mas team saya sepertinya belum pada bangun tidur saya jadi bisa menulis sambil menunggu mereka siap berangkat ke Purwokerto.
Saya ingin me-review beberapa hal dari trip kali ini. Senin, 21 Juli 2008 kami berangkat dari Jakarta dengan flight pk. 07.45 WIB, penerbangannya not bad kecuali saya agak bingung karena belum terlalu kenal dengan teman sebangku saya alhasil selama perjalanan diem-dieman...haha, bahkan biasanya dengan orang lain sepenerbangan yang duduk di sebelah sayapun saya sempat mengobrol, nah ini sama teman sekantor lho...hehe, aneh banget rasanya. Okay, mungkin masnya emang cool, pemalu atau pendiem...ternyata beberapa jam setelah trip kami berlangsung saya tau saya salah duga;p
Mendarat di Yogyakarta tanpa break, kami meluncur ke Muntilan untuk langsung bekerja alias shooting. Dari Muntilan, saya merekomendasikan Anda untuk makan di Gudeg Mbok Jayus, Warung Sop Empal Jalan Veteran dan RM Purnama. Gudeg Mbok Jayus cukup kondang di Muntilan, sekarang sudah dikelola oleh generasi kedua, gudegnya unik karena ada irisan cuciwis di dalamnya. Warung Sop empal yang ramai dikunjungi orang di Muntilan juga lumayan, empalnya empuk...pas banget kalo dateng pas lagi laper-lapernya. RM Purnama jadi favorit saya, saya sampai bingung mau makan apa, rasanya semua pengen dimakan...hehe, ada pecel wader, berbagai mangut, buntil, telor ikan, hmm, bingung! Mungkin karena saya Jawa banget yah masakan disini cocok sama lidah saya.
Dari Muntilan langsung mengejar Magelang. Dari Magelang yang khas sop senerek dan tahu kupat. Tapi yang menurut saya highly reccomended ya Tongseng Kepala Kambing Pak Din, tempatnya unik banget benar-benar di desa dan kita makan di pawon (dapur). Untuk bisa makan tongseng ini juga harus antri dulu bahkan dari sebelum Maghrib karena duo Pak Din (Chomaruddin dan Sholahuddin, kakak beradik penjual tongseng ini) baru menggelar dagangannya selepas Maghrib itupun mereka meracik dari awal dan dimkasak dengan tungku kayu. Lokasi tepatnya di desa Kepanjen, Menayu dan sudah termasuk wilayah Muntilan meski tidak jauh dari Borobudur. Tongsengnya enak banget dan yang lucu waktu kami datang kesana warga satu kampung keluar semua nonton shooting...wah kami sampai bingung bagaimana menghalaunya.
Shooting hari pertama belum berakhir, karena malam itu juga kami melanjutkan kerja di Temanggung. Di Temanggung, ada Warung Oriental, penjual Chinese Food kaki lima, masakannya enak bikin teman-teman saya kalap dan emang udara di Temanggung yang dingin bikin pengen makan mulu.
Masih di Temanggung, ada penjual nasi jagung yang sudah berjualan puluhan tahun bernama Ibu Marinem. Ibu ini menjual dagangannya di emperan toko Bank Panin Jl. Letjend Suprapto Temanggung dan harga satu porsi nasi jagung komplit adalah Rp. 3.000,- waw, saya sampai kagum dengan perkiraan penghasilan yang tidak seberapa itu, Ibu Marinem berjualan hampir sepanjang hidup dan beliau bertahan hidup...life is though. Tidak jauh dari Ibu Marinem, ada penjual nasi godog namanya Pak Mul. Sepertinya kisah hidup Pak Mul tidak jauh dari Ibu Marinem, sudah berjualan dari 1980-an di tempat yang sama, menjalani hidup yang secukupnya dengan nrimo...saya sampai mikir mungkin orang-orang seperti beliau berdua ini damai gitu yah, tidak kemrungsung (tergesa-gesa atau ngoyo) menjalani hidup.
Malam itu kami kembali ke Magelang untuk beristirahat di Hotel Puri Asri. Hotel berbintang empat di Magelang ini menyenangkan. Jika saya keluar dari kamar, saya disuguhi pemandangan hamparan sawah dan aliran sungai Progo yang menenangkan, coba ya setiap hari saya ketemu pemandangan seperti ini*ngayal mode on*.
Hari kedua kami masih mengitari Magelang, malamnya, kami menginap di Hotel Manohara karena esok dini hari kami mau mengejar matahari terbit. Saya senagn banget karena ini bakal jadi kali pertama saya melihat sunrise dari Candi Borobudur. Saya sudah membayangkan betapa cantiknya sang mentari terbit diantara Gunung Merapi dan Merbabu...wow!
Hari ketiga, jam empat pagi seluruh team sudah standby untuk memulai perjalanan ke Candi Borobudur... Memandang Candi Borobudur yang megah saja sudah breathtaking karena mengagumkan, gimana nati pas sunrise...Sayangnya, misi kami mengabadikan sunrise di Candi Borobudur gagal karena awan yang terlalu tebal menutupi terbitnya sang surya. Tapi tetap saya senang menelusuri kembali Candi Borobudur dengan kisah di balik pembangunannya.
Selesai dari Candi Borobudur kami melanjutkan kembali perjalanan blusukan kami ke Temanggung. Selesai di Temanggung kira-kira pk. 20.00 wib, kami langsung cabut ke Wonosobo. Suhu yang dingin langsung menyambut kami di Wonosobo, kami cepat-cepat beristirahat karena Dieng Plateau menanti kami esok dini hari (again!).
Hari keempat, saya bangun jam setengah empat pagi, bersiap-siap dengan celana pendek, kaos becapuchon, jaket, syal dan sepatu keds untuk memulai trip kami ke Dieng Plateau. Jam setengah lima, seluruh team berangkat dari hotel menuju gardu pandang Sikunir...langit sudah bersemu merah ketika kami sampai. Yes, pengejaran sunrise kali ini berhasil. Waw, indah banget lho pemandangannya!
Selanjutnya, jam setengah tujuh pagi kam meluncur ke Kawah Sikidang. Konon, dinamakan Sikidang karena kawah ini sering berpindah-pindah tempat. Shooting sebentar langsung menuju RM Bu Jono untuk ngupi dan sarapan (shooting juga sih). Setelah itu, kami shooting mengunjungi anak gimbal, petik teh di Perkebunan Tambi, melihat proses pembuatan carica, beli oleh-oleh dan makan mie ongklok. It is quite perfect day until my feelings turn down and gloomy because have no friend to chat or share...but it’s already fine then.
Hari ini hari kelima, sebentar lagi kami akan berangkat ke Purwokerto
27 Juli 2008
On the way back to Jakarta via train…Thanks God the shooting run smoothly until the last day.
Kita naik kereta api eksekutif Taksaka 2 dari Purwokerto dan menempuh perjalanan sekitar 5 jam. Setelah perjalanan 7 hari dengan mobil melewati Yogyakarta, Muntilan, Magelang, Temanggung, Wonosobo (incl. Dieng) kemudian Purwokerto (dan saya nambah perjalanan ke Tegal) saya harus kembali lagi ke Jakarta dan rutinitas*sigh*...hehe, pasti setiap pulang dari luar kota meninggalkan rasa tidak rela . Tidak rela meninggalkan ”penemuan-penemuan” baru, pemandangan yang tidak akan saya temukan di Jakarta, lokalitas yang khas dari tiap daerah dan keunikan karakter teman seperjalanan yang tidak mungkin terlihat di kantor.
Another trip...another experience...and this gonna be my last trip with Wisata Kuliner...so sad:(