Perjalanan antara Anyer dan Jakarta saya selama 3 hari untuk survey dan shooting cukup berkesan. Selain menemukan tempat-tempat makan yang menarik, saya juga jadi punya kesempatan untuk melihat sisi lain lagi dari sebuah daerah baik dari kehidupan masyarakat setempat maupun culture di dalamnya. Kawasan Anyer dan Labuan merupakan kawasan pesisir yang berbatasan langsung dengan Selat Sunda. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan melakukan kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan pariwisata. Di sepanjang jalan, saya menemukan plang-plang bertuliskan Pantai Anyer, Pantai Pasir Putih dan lain-lain. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati (dan masih belum menemukan jawabnya) apakah keberadaan pantai yang dikavling-kavling tersebut dikelola oleh dinas pariwisata setempat atau justru oleh perorangan, well, terlepas dari pertanyaan saya itu, saya sangat menyayangkan kondisinya. Sebenarnya hampir semua pantai tersebut cantik namun sampah-sampah bertebaran dimana-mana dan terkesan kumuh. Aaahh...seandainya saja pengelolanya lebih peduli, tentu akan semakin cantik dan semakin banyak wisatawan yang berkunjung kesana dan efek skala besarnya adalah meningkatnya pendapatan kawasan tersebut.
Penduduknya sendiri sangat ramah dan helpfull. Saya sempat merasa deg-degan karena survey sendirian di kawasan pesisir yang katanya penduduknya berwatak keras, belum lagi saya tak kenal medan. Namun, ketakutan saya langsung menguap begitu saya tiba disana. Pertanyaan saya kepada penduduk lokal mengenai lokasi selalu dijawab dengan baik bahkan mereka dengan penuh kerelaan menjadi guide dadakan buat saya dengan sukarela. Tidak setiap hari saya menemukan orang-orang sederhana nan baik hati seperti mereka (special thanks to: Pak Lalan, Pak Muh, Pak Hamatu, Ibu Karimah, Pak Untung dan nelayan Labuan karena sudah mempermudah pekerjaan saya).
Pemandangan lain yang membuat saya miris adalah perkampungan pembuat gula merah di depan sebuah hotel yang cukup besar di Anyer. Bayangkan sebuah gubug tidak permanen berdinding anyaman bambu dan beratap daun kelapa kering dengan tinggi kurang lebih 2 meter sehingga kita harus menunduk ketika memasukinya, beralas tanah dengan luas kurang lebih 4 meter persegi. Itu belum cukup, karena gubug itu hanya terdiri dari dua ruang, 75% bagiannya digunakan sebagai tempat pengolahan gula merah sisanya adalah ruang sempit berisi dipan yang akan digunakan tidur berdesak-desakan oleh dua orang dewasa dan dua anak-anak. Saya kira di gubug itu juga tidak ada listrik karena saya tidak melihat satupun bohlam lampu. Oya, gula merah yang mereka buat dihargai lima ribu rupiah per kilonya oleh para tengkulak yang tentu akan dijual lebih mahal kepada pasar. Betapa tidak sebandingnya dengan usaha mereka membuat gula itu, sang Bapak pagi-pagi benar harus memanjat pohon kelapa yang tinggi untuk memgambil air dari manggar kelapa. Kemudian setelah air dikumpulkan, si Ibu harus merebus dan mengaduk air kelapa itu selam lima jam. Tuhan maha adil karena dengan kondisi yang sangat minimalis, keluarga pembuat gula merah itu tetap bertahan, saya hanya berharap semoga anak-anak mereka bisa sekolah agar dapat meningkatkan taraf hidup keluarganya kelak. Sungguh kontras, mengingat betapa kehidupan di sekitar mereka bergelimang dengan kesenangan dan euphoria liburan di pinggir pantai.
Kampung nelayan di Labuan juga menyimpan ceritanya sendiri. Saya terkesan dengan cara hidup mereka yang gotong royong. Pertama kali saya sampai disana untuk survey serombongan Bapak-bapak sedang mengangkut ikan bersama-sama, kemudian saya melihat sekelompok yang lain sedang mengerjakan perahu. Terlepas dari tujuan mereka untuk bekerja dan menghasilkan uang, saya melihat teamwork. Bagaimana mungkin seandainya seorang pembuat perahu mengerjakan sendiri perahunya tanpa bantuan orang lain, pasti akan selesai dalam waktu yang lebih lama dan belum tentu hasilnya sebagus jika dikerjakan bersama-sama.
Perjalanan yang mengesankan, selain karena team yang menyenangkan juga karena banyak pembelajaran lain yang bisa diambil dari kehidupan pesisir Anyer-Labuan. Dan tentunya, otak-otak dan sate seafood raksasa yang super duper yummy plus pemandangan eksotis sepanjang pantai. Whatta job!
Penduduknya sendiri sangat ramah dan helpfull. Saya sempat merasa deg-degan karena survey sendirian di kawasan pesisir yang katanya penduduknya berwatak keras, belum lagi saya tak kenal medan. Namun, ketakutan saya langsung menguap begitu saya tiba disana. Pertanyaan saya kepada penduduk lokal mengenai lokasi selalu dijawab dengan baik bahkan mereka dengan penuh kerelaan menjadi guide dadakan buat saya dengan sukarela. Tidak setiap hari saya menemukan orang-orang sederhana nan baik hati seperti mereka (special thanks to: Pak Lalan, Pak Muh, Pak Hamatu, Ibu Karimah, Pak Untung dan nelayan Labuan karena sudah mempermudah pekerjaan saya).
Pemandangan lain yang membuat saya miris adalah perkampungan pembuat gula merah di depan sebuah hotel yang cukup besar di Anyer. Bayangkan sebuah gubug tidak permanen berdinding anyaman bambu dan beratap daun kelapa kering dengan tinggi kurang lebih 2 meter sehingga kita harus menunduk ketika memasukinya, beralas tanah dengan luas kurang lebih 4 meter persegi. Itu belum cukup, karena gubug itu hanya terdiri dari dua ruang, 75% bagiannya digunakan sebagai tempat pengolahan gula merah sisanya adalah ruang sempit berisi dipan yang akan digunakan tidur berdesak-desakan oleh dua orang dewasa dan dua anak-anak. Saya kira di gubug itu juga tidak ada listrik karena saya tidak melihat satupun bohlam lampu. Oya, gula merah yang mereka buat dihargai lima ribu rupiah per kilonya oleh para tengkulak yang tentu akan dijual lebih mahal kepada pasar. Betapa tidak sebandingnya dengan usaha mereka membuat gula itu, sang Bapak pagi-pagi benar harus memanjat pohon kelapa yang tinggi untuk memgambil air dari manggar kelapa. Kemudian setelah air dikumpulkan, si Ibu harus merebus dan mengaduk air kelapa itu selam lima jam. Tuhan maha adil karena dengan kondisi yang sangat minimalis, keluarga pembuat gula merah itu tetap bertahan, saya hanya berharap semoga anak-anak mereka bisa sekolah agar dapat meningkatkan taraf hidup keluarganya kelak. Sungguh kontras, mengingat betapa kehidupan di sekitar mereka bergelimang dengan kesenangan dan euphoria liburan di pinggir pantai.
Kampung nelayan di Labuan juga menyimpan ceritanya sendiri. Saya terkesan dengan cara hidup mereka yang gotong royong. Pertama kali saya sampai disana untuk survey serombongan Bapak-bapak sedang mengangkut ikan bersama-sama, kemudian saya melihat sekelompok yang lain sedang mengerjakan perahu. Terlepas dari tujuan mereka untuk bekerja dan menghasilkan uang, saya melihat teamwork. Bagaimana mungkin seandainya seorang pembuat perahu mengerjakan sendiri perahunya tanpa bantuan orang lain, pasti akan selesai dalam waktu yang lebih lama dan belum tentu hasilnya sebagus jika dikerjakan bersama-sama.
Perjalanan yang mengesankan, selain karena team yang menyenangkan juga karena banyak pembelajaran lain yang bisa diambil dari kehidupan pesisir Anyer-Labuan. Dan tentunya, otak-otak dan sate seafood raksasa yang super duper yummy plus pemandangan eksotis sepanjang pantai. Whatta job!