Bulan ini saya dikasih kesempatan pulang ke rumah, gratisan lagi, lumayan kan?! Saya ada tugas ke Semarang-Solo untuk survey pra shooting di akhir Mei. Dengan penuh semangat saya menyanggupi untuk mengerjakan 14 episode selama delapan hari plus survey empat hari. Sambil bekerja bisa pulang ke rumah kangen-kangenan sama orang tua…whatta job!!
Tanggal 10 Mei saya berangkat sendirian dari Jakarta, berhubung mobil rental baru tersedia tanggal 12 Mei, dari bandara saya terpaksa merogoh kocek lebih dalam untuk naik taksi bandara (amit-amit deh, Bandara Ahmad Yani ke Ungaran yang kalo naik taksi biasa Cuma 50ribu, jadi dua kali lipatnya!). Tapi memang dimana-mana taksi bandara selalu lbih mahal sepertinya. Sampai di rumah, papi mami saya sudah menunggu aduh seneng deh, walaupun baru pulang Maret lalu, tapi berasa kangen mulu ya sama orang tua. Siang itu saya habiskan untuk ngobrol bersama mereka dan melahap masakan mami yang juara. Malamnya, saya sudah janjian dengan Abang Ido, salah seorang sahabat saya untuk survey colongan jajanan malam di Semarang. Sasaran pertama, tahu gimbal Pak Edi di depan kantor Depsos yang letaknya di Jalan Pahlawan. FYI, di kawasan Jalan Pahlawan yang merupakan pusat pergaulan anak muda Semarang memang dipenuhi dengan pedagang tahu gimbal. Menurut rekomendasi beberapa teman, yang paling enak ya tahu gimbalnya Pak Edi ini. Saya rasa tidak salah juga. Tempatnya bersih dan rame oleh pengunjung yang ingin menikmati makanan yang berisi tahu goreng, lontong, rajangan kol, gimbal (semacam bakwan udang), telor mata sapi goreng yang disiram sambal kacang, sangat khas Semarang. Dari warungnya Pak Edi, saya dan Abang Ido kembali menyusuri Jalan Pahlawan menuju Pecel Mbok Sador, tidak susah menemukannya, letaknya di ujung Jalan Pahlawan tepat di seberang Ramayana. Dari sana, kami melanjutkan survey colongan ke Jagung serut depan SMA Theresiana 2 di jalan gajah mada. Celingak celinguk saya cari warung tenda jagung serut itu, ternyata lagi ngumpet di gang sebelah SMA Theresiana 2 karena ada penertiban oleh kamtib. Saya nyicipin jagung manis serut, jadi jagung manisnya dibakar dulu baru diserut. Rasanya sih gak beda jauh sama jagung baker, tapi saya jadi lebih mudah menikmatinya, lumayan sih untuk iseng ngobrol bareng temen atau ngedate murah meriah..hehe. Ada satu tempat yang saya tunggu-tunggu, nasi ayam Bu Sami di depan matahari simpang lima. Bukanya baru jam 11 malam, tapi sebelum jam 11 udah banyak yang nungguin. Pas saya kesana dan ngajakin ngobrol mpe saya dicuekin loh saking sibuknya si Ibu ini ngelayanin pembeli, karena saya yang butuh, ya saya sabar-sabarin aja deh dicuekin. Akhirnya perjalanan saya dan Abang Ido malam itu berakhir di UNDIP ex-kampus saya, disana lagi ada pentas seni yang diadakan oleh anak Fakultas Teknik. Kami sih sadar udah bukan masanya jejingkrakan bareng anak-anak belasan tahun di dalam Auditorium UNDIP, jadi kami duduk saja di pelataran audit. Dulu, disitu saya bercengkerama bersama teman-teman menunggu jam kuliah, ngecengin cowok-cowok oke dari jurusan sebelah yang berseliweran, ngerjain tugas kuliah, diskusi plus curhat colongan sambil nunggu konsultasi skripsi, meeting kegiatan kampus sampai main poker dan tempat nongkrong kalo lagi bolos kuliah. Di Auditorium juga dulu acara kampus tak pernah saya lewatkan, jejingkrakan nonton pentas musik kampus sampai jadi panitia penyelenggara pentas. Aah, masa-masa indah yang ngangenin.
Hari Minggunya hanya saya lewatkan di rumah istirahat karena suhu yang dingin dan kelembapan udara, setiap pulang ke Ungaran saya selalu kedinginan dan bersin-bersin bahkan sampai sesak nafas.
Perjalanan hari Senin dimulai di Pagoda Avalokitesvara Watugong, kemudian saya meluncur ke Pasar Gang Baru. Disini saya juga bekunjung ke Klenteng Ho Hok Bio. Pasarnya sendiri cukup lengkap, yang menarik perhatian saya adalah ikan pari asap, sebuah warung yang menyediakan berbagai macam kecap dan penyedap makanan khas, sayang penjual jajan pasar Bu Suminah lagi absent sakit. Tapi watch out karena banyak bahan makanan yang tidak halal disini. Ternyata cukup banyak tempat baru di Semarang, namun saya tidak bisa mengambil semua dengan berbagai pertimbangan. Yang sempat saya kunjungi adalah Bakoel Deso di Plampitan, Ikan Bakar Cianjur di depan Gereja Blenduk, Lombok Ijo, Rinjani View, Jatilegi…mungkin sebenarnya tidak begitu baru, namun berhubung saya sudah hengkang dari Semarang beberapa waktu jadi agak ketinggalan info baru di sini. Rinjani View cukup cozy untuk ukuran Semarang baguslah ada tempat semacam ini, saingannya mungkin E-Plaza, yang menarik, landasan pacu Bandara Ahmad Yani terlihat lho dari sini jadi kita bisa makan ditemani pemandangan pesawat yang sedang take off atau landing. Sayangnya, disini saya ketemu sekelompok eksekutif muda norak yang gak bisa membedakan seragam stasiun televisi tempat saya bekerja dengan seragam pegawai Trans Jakarta dan dengan sangat ndesonya mereka berkoar-koar layaknya di warung kopi pinggir jalan *sh….t, kesel mode on* sorry to say yah, please deh mereka kan pekerja kantoran berdasi bisa donk ya jaga attitude apalagi di tempat yang berasosiasi dengan SES A yang identik dengan kaum terpelajar, kejadian semacam ini sangat mempermalukan mereka sendiri, keliatan kelasnya kan kalo gini?!! Untung, tante Gatot pemilik tempat ini baik dan ramah jadi ke-ilfil-an saya tidak berlangsung lama meski kejadian itu ngebekas banget, jadi sekelompok cowok ganteng perlente tidak selalu berkorelasi positif dengan smart attitude. Kejadian menarik lainnya waktu saya dan Pak Eko (pemilik rental yang nganterin saya) mencari warung nasima di bilangan Sampangan. Kabarnya, warung ini populer dengan olahan belutnya. Kami sudah berputar-putar di Sampangan, tapi kok ya gak ketemu-ketemu, ternyata memang warung makannya tidak memiliki papan nama. Tapi jangan salah, warungnya rame banget. Sebenarnya warungnya sederhana seperti layaknya warteg, di meja terhidang baskom-baskom berisi aneka olahan belut, ikan manyung dan sayur-sayur lainnya. Pas banget makan disini kalo doyan belut dan jangan dating lewat jam makan siang karena riskan kehabisan. Saya juga sempat nyicip es durian di depan SMA Theresiana 1 di Kampung Kali, meski Cuma gerobak dengan beberapa kursi plastik, esnya seger banget buat ngusir gerah siang-siang panas di Semarang. Oya, di Semarang ini saya ketemu beberapa pemilik warung (sebenarnya bukan warung juga karena tempatnya sudah permanen) yang tidak kooperatif dengan alasan yang menurut saya hanya dimiliki oleh orang-orang kikir dan pelit yakni takut kalo udah disiarin di televisi, mereka akan dimintai sumbangan dan dikenakan pajak…ya ampyunnnn, dangkal banget! Salah satunya adalah warung ayam bakar di kawasan Ngesrep Timur V yang kabarnya kondang di Semarang…nggak banget deh, saya sih tidak terlalu merekomendasikannya.
Hari berikutnya, saya mulai jalan ke selatan. Di Ungaran, ada tahu bakso yang bikin temen-temen sekantor termehek-mehek waktu saya bawa sehabis cuti Paskah dan sate sapi Pak Kempleng yang sudah berdiri turun temurun. Sekarang, usaha Pak Kempleng dilanjutkan oleh anak-anaknya jadi ada beberapa warung, namun yang asli adalah warung yang berada di kanan jalan jika kita berkendara dari Semarang kearah Solo atau Jogja dengan papan reklame salah satu dealer motor di Semarang. Saya cukup beruntung karena bisa ketemu dengan Mbak Tun, pemilik warung iga gongso di Langensari karena dia hanya membuka warungnya pada pasaran Wage dan Legi. Perjalanan berlanjut ke Bandungan. Saya mengunjungi pasar Bandungan, ada tomakur (tomat rasa kurma), madu kelengkeng, sate kelinci dan getuk goreng favorit saya. Kembali ke kawasan ini, mengingatkan saya pada masa-masa sekolah karena saya dan teman-teman sering pergi kesini di akhir pekan untuk retret, acara kumpul-kumpul seperti temu keakraban atau sekedar mancing dan menikmati ikan bakar di Blater. Dari pasar, saya ke tempat pembuatan dan penjualan tahu serasi yang asli milik Bapak Shindoro di depan Hotel Nugraha Wisata. Wah deg-degan juga pas beliau curhat abis-abisan selama satu jam, kan gawat kalo udah lama-lama ternyata tidak diberi ijin untuk meliput. Syukur, kekhawatiran saya tidak beralasan, karena Pak Shin dengan tangan terbuka memberikan ijin. Kembali mobil meluncur ke arah pasar Jimbaran, sampai di depannya belok kiri naik lurus dengan jalan yang tidak begitu bagus menuju ke Umbul Sidomukti. Sebenarnya jalan ini adalah jalur pendakian ke gunung Ungaran,ketika saya masih SMA dan aktif di Vilgrimb (komunitas pecinta alam SMU Sint Louis Semarang) saya sering melalui jalur ini dengan berjalan kaki. Semuanya terbayar ketika sekali lagi saya diberi suguhan pemandangan pegunungan yang hijau dengan latar belakang langit biru cerah…hmm…sungguh pemandangan yang jarang saya dapatkan selama di Jakarta. Di Umbul Sidomukti, ada berbagai wahana untuk menaikkan adrenaline seperti flying fox dan marine bridge selain kolam (yang katanya) alami. Saran saya, datanglah di hari biasa karena sepi sehingga dapat menikmati fasilitas dan pemandangan secara optimal. Dari sini bergerak ke Kampoeng Kopi Banaran, nikmati kopinya, sensasinya beda lho dengan minum di The Coffeebean atau Starbucks, menurut saya sih lebih nendang disini, tapi yang paling nendang ya kopi kotok di pedesaan Grobogan tempat saya KKN, saya sampai ga bisa tidur sampai pagi.
Memasuki Salatiga, saya menyambangi sate suruh dan ronde sekoteng jago di bilangan Jenderal Sudirman. Yang berkesan adalah Getuk Kethek (dinamai begini karena pemilik usaha ini memelihara monyet yang dalam bahasa Jawa disebut kethek sebagai penanda lokasi). Getuk ini tenar dan bukanlah usaha skala besar, untuk menikmatinya, kita harus memesan terlebih dahulu agar tidak kehabisan, rasanya pulen dan enak. Namun kita tidak bisa menyimpannya terlalu lama karena tidak menggunakan bahan pengawet sehingga membuat getuk ini cepat basi. Di Salatiga, saya tidak lupa mengunjungi Kelenteng Ho Tek Bio di jalan Sukowati, di depan kelenteng berderet took enting-enting gepuk dari kacang, sayapun memilih enting-enting cap Kelenteng dan 2 hoolo yang kabarnya adalah perintis usaha makanan ini. Piangko (sejenis yangko) di took ini juga enak. Saya juga menemukan Warung Joglo Bu Rini yang beratmosfer menyenangkan karena lokasinya di pinggir sawah dengan rumah joglo besar di tengah-tengahnya.
Ternyata hari sudah sore, sayapun bergegas ke Solo…
Solo tidak kalah menyenangkannya.